Kebijakan pemerintah yang
mewajibkan semua mobil pelat merah
menggunakan bahan bakar Pertamax menimbulkan beberapa pertanyaan dari saya.
Apakah semua mobil pelat merah dibiayai bahan bakarnya oleh instasi terkait?
Apakah semua mobil pelat merah adalah mobil merah? Bagaimana dengan mobil pelat
merah yang bahan bakarnya harus dibiayai sendiri? Tentu hal ini sangat
memberatkan pengguna mobil pelat merah. Lain ceritanya kalau mobil pelat merah
ini adalah mobil pejabat!
Mobil pelat merah mengingatkan
kenangan akan mobil dinas pelat merah almarhum ayah saya. Di tahun 1980, ayah
saya membawa pulang ke rumah mobil baru Mitsubishi Colt T 120. Ketika itu saya
masih kelas 6 SD dan tidak tahu arti warna pelat nomer mobil. Mobil tersebut
ketika pertama kali datang pelatnya berwarna putih dan tidak lama kemudian
berganti warna menjadi warna merah. Saya ingat mobil Mitsubishi Colt T120 SS
tersebut dibeli seharga 6 juta rupiah, kelak 28 tahun kemudian mobil tersebut
dijual dengan harga yang sama. Jadi siapa bilang harga mobil makin lama makin
turun?
Sesudah menjadi pelat mobil warna
merah, baru saya tahu kalau mobil tersebut adalah mobil dinas. O iya, mobil
dinas ini menggantikan mobil pribadi ayah saya yang sudah lama mogok di garasi.
Mobil pribadi tersebut adalah Mercedes tua. Karena biaya perbaikan mahal dan
bahan bakar bensin sangat boros, maka Mercedes tua tersebut dibiarkan mogok di
garasi. Sebelum mobil dinas datang kami akrab menggunakan becak dan angkot.
Belakangan mobil Mercedes tua mogok ini laku dibarter. Ya Mercedes tua ini laku
dibarter dengan mesin. Tapi bukan dengan mesin mobil melainkan barter dengan
mesin jahit!
Mitsubishi Colt T 120 semakin
akrab dengan kami sekeluarga. Mobil inilah menjadi mobil untuk belajar
menyetir. Ibu sayalah yang mengajarkan menyetir mobil ketika saya kelas 6 SD
menjelang masuk SMP.
Setelah beberapa hari diajarkan
saya dilepas untuk membawa sendiri mobil tersebut. Segera saya test mobil
tersebut dengan kecepatan di atas 80 km/jam, karena dengan kecepatan tersebut
akan bunyi alarm tet...tet..tet.. Selain
senang dengan bunyi alarm peringatan, waktu itu melaju dengan kecepatan 80
km/jam di dalam komplek perumahan masih memungkinkan, karena komplek perumahan
tersebut masih sepi.
Untuk biaya bahan bakar mobil
dinas tersebut keluar dari uang pribadi, tidak ada biaya dari kantor. Sering
kali almarhum ayah saya membeli bensin literan di depan komplek dengan cara
berhutang. Bayarnya bulan depan setelah gajian. Ngebon bensin premium berulang
bulan demi bulan, hingga suatu saat kami tidak bisa berhutang bensin lagi
dikarenakan kios bensin di depan terbakar. Kelabakanlah almarhum ayah saya
untuk membeli bensin. Untunglah saat itu almarhum ayah saya mendapatkan kerja
sampingan sebagai tenaga pengajar di Universitas Nasional, pejaten pasar
minggu. Honornya memang tidak seberapa, tetapi di Universitas Nasional saat itu
ada proyek untuk menterjemahkan buku-buku berbahasa asing ke bahasa Indonesia. Dibayarnya
per lembar hasil terjemahannya. Proyek ini terus berlanjut sampai ketika itu rektornya
Bapak Sutan Takdir Alisjahbana dilengserkan oleh (pemerintah?) pesaingnya.
Adalah hal yang aneh bagi saya ketika itu, seorang pendiri Universitas
Nasional, suatu Universitas swasta, bisa diganti oleh orang lain. Ketika
terjadi kekisruhan itulah proyek terjemahan terhenti. Namun rupanya almarhum
ayah saya masih diberi rejeki dengan mendapatkan kesempatan menerjemahkan buku
lagi, kali ini proyek menerjemahkan buku didapat dari Universitas Gajah Mada,
sedangkan dananya dari Bank Dunia. Lagi-lagi dibayar perhalaman hasil
terjemahan. Saya dan kakak saya mendapat tugas untuk mengetik hasil tulisan
tangan terjemahan almarhum ayah saya. Kelak saya menyadari ternyata banyak
sekali tulisan tangan beliau di kertas, yang kalau saya lakukan belum tentu
bisa.
Kembali ke mobil dinas Colt T 120
SS ini, selain membawa orang hilir mudik, mobil ini juga dipergunakan untuk
berdagang beras oleh ibu saya. Sayalah yang disuruh menyetir masuk ke
pasar-pasar tradisional untuk kulakan beras.
Riwayat Colt T120 SS di keluarga
kami berakhir dengan di-demnya mobil ini. Setelah sebelumnya kami mendapat
surat dari kantor pajak yang mewajibkan mobil dinas di atas sekian tahun
menjadi pelat hitam.
Setelah 4 tahun berlalu sejak
di-dem, kami tidak mengetahui lagi bagaimana nasibnya Colt T120 ini.